Sejak abad ke-17, masyarakat Tionghoa mulai menetap di Makassar, salah satu pelabuhan utama di Indonesia. Mereka datang dengan berbagai latar belakang, termasuk pedagang, nelayan, dan pekerja. Kedatangan mereka tidak hanya mengubah demografi kota, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan ekonomi dan budaya di kawasan tersebut.
Pada masa awal, masyarakat Tionghoa di Makassar berfokus pada perdagangan.
Mereka mendirikan berbagai jenis usaha, seperti toko, restoran, dan perusahaan pengiriman. Dengan keahlian mereka dalam perdagangan, komunitas ini berhasil menjalin hubungan dagang yang kuat dengan berbagai suku dan bangsa, termasuk Arab, Bugis, dan Belanda.Seiring berjalannya waktu, masyarakat Tionghoa mulai berintegrasi ke dalam kehidupan sosial dan budaya Makassar. Mereka membangun tempat ibadah, seperti klenteng, yang menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial.
Klenteng ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat berdoa, tetapi juga sebagai tempat berkumpul untuk merayakan berbagai festival budaya Tionghoa, seperti Imlek dan Cap Go Meh.Pada abad ke-19, perkembangan masyarakat Tionghoa di Makassar semakin pesat. Mereka tidak hanya terlibat dalam perdagangan, tetapi juga mulai memasuki bidang industri. Banyak dari mereka yang menjadi pengusaha sukses, mengoperasikan pabrik, dan bisnis lokal yang mendukung pertumbuhan ekonomi Makassar.
Hal ini menjadikan mereka bagian integral dari struktur sosial dan ekonomi kota.Namun, tidak semua perjalanan masyarakat Tionghoa di Makassar berjalan mulus. Pada awal abad ke-20, muncul berbagai tantangan, termasuk diskriminasi dan konflik sosial. Kebangkitan nasionalisme di Indonesia dan sentimen anti-Tionghoa menyebabkan ketegangan antara komunitas Tionghoa dan penduduk lokal. Meskipun demikian, mereka tetap bertahan dan beradaptasi dengan keadaan.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, masyarakat Tionghoa di Makassar berusaha untuk mempertahankan identitas budaya mereka. Mereka mengajarkan bahasa, tradisi, dan nilai-nilai budaya Tionghoa kepada generasi muda, sehingga warisan budaya mereka tidak hilang. Hal ini juga berkontribusi pada keragaman budaya yang ada di Makassar.
Selama periode penjajahan Jepang (1942-1945), masyarakat Tionghoa mengalami tekanan yang lebih besar. Banyak dari mereka yang diharuskan untuk bekerja di proyek-proyek militer Jepang. Namun, situasi ini juga memicu solidaritas di antara komunitas Tionghoa, yang bersatu untuk melawan penindasan dan memperjuangkan hak mereka.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, masyarakat Tionghoa di Makassar kembali menghadapi tantangan baru. Mereka harus beradaptasi dengan perubahan politik dan sosial yang cepat. Meskipun menghadapi diskriminasi, banyak di antara mereka yang berkontribusi pada pembangunan bangsa, terutama dalam sektor ekonomi dan pendidikan.
Memasuki akhir abad ke-20, masyarakat Tionghoa di Makassar mulai memperoleh pengakuan yang lebih baik dalam masyarakat Indonesia. Mereka terlibat dalam berbagai organisasi sosial dan politik, berusaha untuk berkontribusi lebih banyak dalam pembangunan komunitas. Perubahan sikap masyarakat terhadap Tionghoa juga menjadi tanda bahwa integrasi telah mulai terjadi.
Saat ini, masyarakat Tionghoa di Makassar menjadi bagian penting dari keragaman budaya Indonesia. Mereka tidak hanya mempertahankan tradisi mereka, tetapi juga berkontribusi pada kemajuan dan perkembangan kota Makassar. Sejarah panjang dan perjuangan masyarakat Tionghoa di Makassar mencerminkan dinamika dan kompleksitas identitas yang terus berkembang di tengah masyarakat multikultural.